Mungkin era keemasan bisnis “kios” atau kelontong mulai
memudar, banyak kita temui di daerah-daerah perumahan atau pun perkampungan
banyak yang sudah mati suri. Apa
faktor yang menyebabkan hal itu terjadi? Lebih banyak faktor internal yang
berperan disana? Ataukah faktor eksternal yang memicu kematian warung kelontong?. Apabila kita melihat faktor internal
ada benarnya juga faktor ini memiliki dominasi besar untuk menjadikan sebuah bisnis warung
kelontong mengalami stag dan akhirnya mati tak berbekas. Mengapa? Ini karena
kebanyakan dari usaha “warung” tidak didukung dengan manajemen yang rapi,
banyaknya tidak memakai catatan yang seharusnya dibuat oleh setiap bisnis yang
dijalankan, walaupun kini ada sebagian warung yang memakai sistem P.O.S namun,
itupun warung-warung yang pemiliknya mengerti akan pentingnya sebuah manajemen
dan mereka berhasil memiliki beberapa cabang warung yang berdiri di sekitar
wilayah mereka.
Jika kita melihat faktor eksternal yang berperan
disini, dapat kita lihat betapa banyaknya outlet pasar modern yang bertebaran
hingga ke pelosok desa. Supermarket dan menjamurnya mini market yang notabene
memiliki kapital dan manajemen yang kuat kini menjamur dan seperti tidak dapat
dikendalikan. Namun, kita juga tidak dapat menyalahkan “fenomena” seperti ini
dan secara sepihak menghakimi karena banyaknya mini market yang akhirnya
mengakibatkan “kematian” bagi warung-warung kecil. Persaingan bisnis adalah
menjadi sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan ini, dengan adanya mini market
banyak pula segi positif yang dapat di ambil disana. Dimana kita dapat belajar,
bagaimana membangun sebuah bisnis dengan mengedepankan memenuhi apa yang
dibutuhkan oleh konsumen serta memberikan pelayanan yang baik kepada konsumen,
disamping tentunya manajemen mereka yang rapi.
Hal diatas menjadi satu bahan diskusi diantara saya dan
sahabat saya yang memiliki bisnis warung kelontong yang kini mengalami
penurunan omset. Dia mengeluhkan akan penyebabnya adalah banyaknya mini market
yang berdiri dan mulai masuk ke daerah-daerah pemukiman. Dimana sebelum adanya
mini market, omset penjualan kios kelontongnya lumayan bagus dan omsetnya selalu
mengalami peningkatan. Kami menelaah akan penyebab penurunan omset, dari
masalah manajemen kios kelontong sahabat saya cukup bagus dan rapi
penangananya. Dari segi pelayanan terhadap konsumen hal ini menjadi penekanan,
ternyata konsumen end user kurang menyenangi akan keterlambatan pelayanan, hal
ini sebetulnya menjadi wajar karena kios kelontong tidak seperti sebuah
mini market dimana produk ada dalam rak dan tertata rapi. Selanjutnya konsumen
dapat memilih sendiri apa yang mereka butuhkan.
Ada pertanyaan yang mencuat, apa perlu mengubah setting
kios dengan membuat model seperti mini market? Berapa biaya yang harus
dikeluarkan? Tentunya bukan perkara mudah dan yang pastinya banyak biaya yang
harus dikeluarkan serta tidak mungkin bagi bisnis kecil melawan atau bersaing
secara langsung dengan bisnis yang sudah besar. Dari situlah akhirnya muncul
satu gagasan, kenapa tidak mengubah strategi pemasarannya. Dimana gagasan itu
muncul setelah saya melihat sebuah sepeda motor roda tiga yang terparkir
didepan kiosnya, sebuah sepeda motor gerobak yang biasa dipakai untuk belanja
kebutuhan warung. Gagasan itu dituangkan dalam sebuah rencana strategi
pemasaran baru dimana kita mengubah segmen pasar dari end user (konsumen tahap
akhir) ke konsumen k3 atau penyalur atau pemilik kios kecil.
Hal pertama
yang dilakukan adalah, kios tetap melayani konsumen end user yang menjadi
pelanggan setia dengan sistem ritail tentunya.
Kedua,
membuat peta pemasaran untuk melayani konsumen penyalur atau kios-kios kecil
dengan konsep penjualan harga grosir atau harga berjenjang.
Ketiga,
membuat daftar produk utama yang akan dipasarkan melalui mobile market alias
canvaser dengan motor roda tiga selain itu setiap “memasarkan” selalu membawa buku
catatan untuk mencatat request atau permintaan lain yang diminta oleh konsumen.
Keempat,
mencari sumber barang yang akan dipasarkan selain barang yang sudah ada. Hal ini
penting agar ada variasi item yang dipasarkan serta mendapatkan jenjang harga
yang lebih murah.
Kelima,
memanfaatkan barang atau produk yang dikirim oleh distributor yang sudah biasa
mengirim dan tentunya ini akan menghemat modal kita, dimana barang dari
distributor tersebut kita mendapatkan kemudahan pembayaran biasanya 14 hari
kerja dan kita dapat memanfaatkan “pinjaman ringan ini”.
Barang yang akan dipasarkan ke kios-kios kecil diusahakan kita mix seperti, bahan kebutuhan sehari-hari, makanan ringan, minuman kemasan, obat-obatan warung dan usahakan Anda juga memiliki produk yang dapat dijual oleh mereka secara eceran. Anda dapat membuat produk eceran seperti, bawang putih yang sudah Anda kemas dengan plastik “renceng” yang dapat dijual oleh mereka seharga Rp. 1000 per renceng, gula merah yang dibuat renceng pula dan beberapa produk dari ide Anda sendiri, hal ini akan memberikan keuntungan yang lumayan besar. Selanjutnya untuk obat-obatan warung,
Anda dapat menjualnya dengan mengikat per 5 strip ataupun per 10 strip dari satu box obat mengenai harga dapat Anda lihat di HET (harga eceran tertinggi) yang ada dikemasan. Dalam strategi pemasaran Anda dapat membuat promo produk agar terkesan bahwa Anda adalah profesional. Berkreasi dan kreatif dalam berjualan, Anda pasti akan menemukan jalannya. Dengan strategi pemasaran jemput bola seperti ini, Anda tidak akan kehilangan pasar malah Anda mendapatkan pasar baru yang lebih berpotensi. Bisnis adalah sebuah seni jadi gunakanlah daya kreasi dalam menemukan jalan menuju keberhasilan.
0 komentar:
Post a Comment