Secara
harfiah, franchise (waralaba) berasal dari bahasa Perancis yang berarti
kebebasan untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Menurut Asosiasi
Franchise Indonesia, waralaba didefinisikan sebagai “suatu sistem
pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir dimana pemilik merek (franchisor)
memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan
merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”. PP No.16/1997
mendefinisikan waralaba sebagai “perikatan dalam rangka penyediaan dan/atau
penjualan barang dan atau jasa, dimana salah satu pihak (penerima waralaba)
diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain
(pemberi waralaba) dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan
pihak lain (pemberi waralaba)”.
Definisi
sebagaimana PP No. 16 Tahun 1997 tersebut disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah
RI Nomor 42 Tahun 2007 yang mendefinisikan waralaba sebagai “hak khusus yang
dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan
ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah
terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain
berdasarkan perjanjian waralaba”.Suatu sistem bisnis waralaba melibatkan dua
pihak yaitu franchisor dan Franchisee. Franchisor adalah
“wirausaha sukses pemilik produk, jasa atau sistem operasi yang khas dengan
merek tertentu, yang biasanya telah dipatenkan”. Sementara Franchisee adalah
“perorangan dan atau pengusaha lain yang dipilih oleh franchisor atau
yang disetujui permohonannya untuk menjadi Franchisee oleh pihak franchisor
untuk menjalankan usaha dengan menggunakan nama dagang merek atau sistem
usaha miliknya, dengan syarat imbalan kepada franchisor berupa uang
dalam jumlah tertentu pada awal kerjasama dijalankan dan atau pada jangka waktu
tertentu selama jangka waktu kerjasama”.
Konsep
waralaba pertama kali diterapkan oleh Singer Sewing Machine Company dengan
memberikan hak pada distributornya untuk menjual produk-produk mesin jahit.
Konsep waralaba ini kini telah diterapkan pada sejumlah produk. Setiap produk
barang atau jasa pada prinsipnya dapat diwaralabakan. Sejumlah persyaratan
produk atau jasa untuk dapat diwaralabakan antara lain: pertama; Produk barang
dan jasa memiliki pasar yang jelas dan brand yang baik. Kedua; Memiliki formula
dan desain yang dipatenkan. Ketiga; memiliki merek dagang. Keempat; Memiliki
sistem manajemen keuangan untuk mengendalikan arus kas, Kelima; Memberikan
konsultasi manajerial. Keenam; Adanya paket periklanan yang memenuhi skala
ekonomi, Ketujuh; Adanya layanan yang baik dari kantor pusat. Kedelapan
memiliki konsep bisnis yang teruji.
Masuknya
Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King pada akhir 1970-an merupakan awal
pengenalan franchise di Indonesia. Akan tetapi, perkembangan waralaba di
Indonesia mulai terlihat pada tahun 1990-an dan mengalami perkembangan pesat
dalam 5 tahun terakhir. Pada awal tahun 1990-an, waralaba di Indonesia
berjumlah 35 buah, dimana waralaba asing sebanyak 29 dan waralaba lokal
berjumlah 6 buah. Pada tahun 2006 usaha yang menjalankan waralaba berjumlah 450
buah, dimana 220 asing dan 230 waralaba lokal. Dalam kurun 2006-2008
perkembangan franchise bak jamur dimusim hujan. Tercatat pertumbuhan
waralaba pada tahun 2008 mencapai 57,6% yang meningkat dari tahun sebelumnya
yang mencapai 35,4%. Perkembangan waralaba pada tahun 2008 tercatat sebanyak
250 waralaba asing dan 450 waralaba lokal yang tersebar di 31.827 gerai dan
memiliki nilai omset penjualan sebesar Rp81,03 triliun. Dari seluruh waralaba
yang ada di Indonesia, jenis usaha yang paling banyak adalah usaha makanan dan
minuman dengan persentase sebesar 42,9% dan jasa pendidikan sebesar 17,8%. Hingga pertengahan 2015 walaupun kondisi
ekonomi Indonesia berjalan lamban, dimana berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), pada kuartal I 2015 pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 4,71%.
Angka ini turun 0,5% dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama
tahun lalu yang mencapai 5,21. Kendati demikian, antusiasme masyarakat untuk
membuka usaha tetap tinggi. Oleh karenanya bisnis waralaba masih menjadi
primadona masyarakat Indonesia yang ingin memulai usaha.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, per Desember
2014, setidaknya terdapat 258 waralaba asing atau setara 38% dari rotal usaha
waralaba yang terdaftar resmi. Dari 414 waralaba lokal yang terdaftar, hanya 15
brand yang berhasil go international. Dengan kata lain, jenis bisnis kuliner
atau yang biasa disebut food and beverage(F&B) memang merupakan bisnis yang
paling diminati Indonesia. Pasalnya, makanan adalah kebutuhan paling dasar
manusia.
Direktur Bina Usaha
Kementerian Perdagangan RI, Fetnayeti menargetkan di tahun 2015 pertumbuhan
bisnis waralaba naik 15-20 persen. Saat ini ada 12.000 bisnis waralaba dengan
jumlah gerai mencapai 23.000. Dirinya optimistis Indonesia bisa melakukan
ekspor bisnis waralaba dibandingkan ekspor produk. Hal ini melihat adanya minat
yang besar datang dari investor-investor timur tengah. Hal ini senada dengan
jumlah omzet yang besar dari bisnis waralaba tahun 2014 berdasarkan data
Asosiasi Franchise Indonesia (AFI). Berdasarkan data AFI,
pada tahun 2014 omzet bisnis waralaba mencapai Rp. 127 triliun, melihat data
tersebut, Fetnayeti optimis dalam memajukan bisnis waralaba lokal. Kementerian
Perdagangan telah melakukan pendampingan selama 3 tahun terakhir kepada 384
UKM. Pendampingan tersebut dilakukan salah satunya dengan cara mengikutkan UKM-UKM
dalam pameran-pameran di dalam negeri dan luar negeri. (Sumber: Berbagai
Sumber)
0 komentar:
Post a Comment